“Maha suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam
dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi
sekelilingnya, agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda
(kebesaran) kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha mendengar lagi Maha
mengetahui.”
(QS al-Isrâ’ [17] : 1)
Seperti yang telah kita ketahui bersama bahwa peristiwa
isra’ mi’raj merupakan peristiwa fenomenal penuh teka teki didalamnya
dan banyak mengandung hikmah, baik secara ruhaniyah maupun secara
aqliyah. Peristiwa ini dialami baginda Rasul kita Nabi Agung Muhammad
shallallâhu ‘alaihi wa sallam pada tanggal 27 Rajab, tahun ke-11
kenabian. Secara khusus, Allâh Subhânahu wa Ta’âlâ mendokumentasikan
peristiwa ini pada ayat-ayat al-Qur’ân yang memberikan banyak isyarat
kepada seluruh manusia untuk dapat mengkajinya lebih mendalam. Peristiwa
isra’ wa mi’raj ini agaknya menjadi sebuah revolusi besar bagi dunia
sains dan ilmu teknologi, mengingat isra’ mi’raj ini adalah sebuah
perjalanan yang terjadi hanya dalam waktu semalam dengan jarak tempuh
diluar batas pemikiran manusia. Banyak ahli-ahli dunia meneliti akan
kebenaran dan rasionalitas perjalanan ini dan belum juga muncul sebuah
teori yang valid dan terbukti mengenai peristiwa ini.
Tahun Kesedihan Rasûlullâh Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam
Pada kesempatan kali ini kami akan sedikit mengupas tentang bagaimana
hikmah serta skenario Allâh Subhânahu wa Ta’âlâ yang dirancang untuk
Nabi Muhammad shallallâhu ‘alaihi wa sallam yang ketika itu memang
membutuhkan bantuan dan dorongan motivasi untuk melanjutkan dakwah
islamiyah. Sebelum membahas lebih detail mengenai peristiwa isra’ mi’raj
ada beberapa hal yang perlu kita ketahui. Kita putar jam waktu pada
satu tahun sebelum kejadian ini terjadi, bahwa riwayat mengatakan pada
tahun ini merupakan tahun kesedihan yang dialami Rasûlullâh shallallâhu
‘alaihi wa sallam. Dimulai dari wafatnya paman beliau, Abi Thalib bin
Muthalib, kemudian disusul istri tercinta, Siti Khadijah, ditambah lagi
perlakuan penolakan dakwah Nabi dengan dilempari dengan batu dan cemooh
sehingga Nabi Muhammad shallallâhu ‘alaihi wa sallam merasa tertekan dan
sedih. Maka apabila diilustrasikan sebuah siklus saat itu Rasûlullâh
sedang berada pada titik terendah dalam hidupnya, merasa kehilangan dan
sendiri. Namun yang perlu kita ketahui bahwa titik terendah adalah titik
awal untuk menuju pada titik pasang atau naik.
Maka pada saat
itu Rasûlullâh berdoa, yang dikutip dari sebuah hadits: “Ya Allâh
kepadamu aku mengadukan kelemahan dari kekuatanku, kekurangan
kemampuanku, kelemahan dalam mengahadapi orang-orang yang lemah, Engkau
adalah Tuhanku. Kepada siapakah engkau menyerahkan aku? Apakah kepada
yang jauh bermasam muka kepadaku? Ataukah kepada musuh yang engkau
kuasakan untuk menguasai diriku? Jika bukan karena Amarahmu atas
diriku,maka tidak akan aku perdulikan.namun perlindungan dengan sinar
wajah-Mu yang menyinari kegelapan,sehingga baik atas urusan dunia dan
akhirat ,dari padaMu lah segala petunjuk atas keridhoan sehingga engkau
menjadi ridho,dan tidak ada tipu daya dan kekuatan melainkan dengan
pertolongan engkajuga”(HR. Muslim)
Peristiwa isra’ mi’raj ini
lah yang Allâh atur sebagai suatu hiburan dan motivasi batin yang sangat
dbutuhkan Muhammad waktu itu. Dengan berbagai keajaiban dan hikmah
didalamnya Allâh Subhânahu wa Ta’âlâ mencoba menghibur Muhammad dan
memberikan banyak pengetahuan serta motivasi. Inilah yang Allâh berikan
kepada Nabi Muhammad shallallâhu ‘alaihi wa sallam. Allâh mengujinya
dengan tahun kesedihan, mencabut seluruh backing-backing tersebut, agar
Nabi Muhammad shallallâhu ‘alaihi wa sallam benar-benar berada pada
kondisi “tauhid yang prima”. Ketauhidan dimana hanya Allâhlah yang
menjadi tempat satu-satunya backing dan menyandarkan diri. Bukan pada
manusia, harta atau sesembahan lainnya.“Apapun yang terjadi semua dengan
izin Allâh, dan barang siapa beriman kepada Allâh maha kuasa atas
segala sesuatu.”(QS al-Taghûbun [64]: 11) Jadi Allâhlah yang menguasai
hati kita, maka janganlah melupakan Allâh, sebab barang siapa lupa
kepada Allâh maka setan menggantikan kedudukan Allâh di hatinya.
Perjalanan Maha Dahsyat
Perjalanan Maha dahsyatpun dimulai. Rasûlullâh shallallâhu ‘alaihi wa
sallam ditemani malaikat Jibril berangkat melakukan perjalanan menuju
Masjidil Aqsha yang dikenal dengan al-Isrâ’ yang artinya perjalanan di
malam hari. Selama perjalanan, banyak sekali hikmah dan keajaiban yang
dilalui Nabi Muhammad shallallâhu ‘alaihi wa sallam. Diantaranya Nabi
shallallâhu ‘alaihi wa sallam dilewatkan pada Thur Sina’, sebuah lembah
di Syam, tempat dimana Nabi Musa berbicara dengan Allâh Subhânahu wa
Ta’âlâ, beliau pun shalat di tempat itu. Kemudian melihat Ifrit dari
bangsa Jin yang mengejar beliau dengan semburan api, namun Rasûlullâh
shallallâhu ‘alaihi wa sallam pun dapat melaluinya. Perjalanan
dilanjutkan kembali, Rasûlullâh shallallâhu ‘alaihi wa sallam dikejutkan
dengan bau wangi yang semerbak, itulah semerbak wangi yang terpancar
dari kuburan Masyithah yang teguh mempertahankan aqidahnya melawan raja
fir’aun. Ketika beliau melanjutkan perjalanan, tiba-tiba seseorang
memanggil beliau dari arah kanan: “Wahai Muhammad, aku meminta kepadamu
agar kamu melihat aku”, tapi Rasûlullâh tidak memperdulikannya.
Kemudian Jibril menjelaskan bahwa itu adalah panggilan Yahudi,
seandainya beliau menjawab panggilan itu maka umat beliau akan menjadi
Yahudi. Begitu pula beliau mendapat seruan serupa dari sebelah kirinya,
yang tidak lain adalah panggilan Nashrani, namun Nabi tidak menjawabnya.
Selanjutnya, muncul di hadapan beliau seorang wanita dengan segala
perhiasan di tangannya dan seluruh tubuhnya, dia berkata: “Wahai
Muhammad lihatlah kepadaku”, tapi Rasûlullâh tidak menoleh kepadanya,
Jibril berkata: “Wahai Nabi itu adalah dunia, seandainya anda menjawab
panggilannya maka umatmu akan lebih memilih dunia daripada akhirat”.
Demikianlah perjalanan ditempuh oleh beliau shallallâhu ‘alaihi wa
sallam, begitu banyak keajaiban dan hikmah yang beliau temui dalam
perjalanan itu sampai akhirnya beliau berhenti di Baitul Maqdis (Masjid
al-Aqsha).
Perjalanan isra’ pun berujung pada Masjidil Aqsha,
perjalanan ini untuk kemudian Allâh dokumentasikan pada surah al-Isrâ’
[17]: 1. Setelah perjalanan isra’ ini, Nabi shallallâhu ‘alaihi wa
sallam pun bersiap-siap melanjutkan perjalanan yang tak kalah
menakjubkan dari perjalanan sebelumnya, yakni perjalanan untuk menghadap
AllâhSubhânahu wa Ta’âlâ di Sidratul Muntaha. Perjalanan jauh menembus
langit dan hanya dilakukan dalam waktu kurang dari semalam. Belum ada
teori yang dapat membuktikan kebenaran ini, begitu juga dengan buraq
sebagai kendaraan yang membawa Rasûlullâh. Ada beberapa hal menarik yang
akan kami utarakan disini, pertama ialah jarak perjalanan dalam isra’
wa mi’raj yang melampui hitung-hitungan teori kecepatan. Kecepatan
cahaya saja yang sampai kini masih dianggap sebagai materi paling cepat
dialam semesta ini masih tidak bisa menjelaskan mengenai isra mi’raj,
jika Nabi Muhammad melakukan perjalanan isra’ mi’raj dengan kendaraan
atau buroq menggunakan kecepatan cahaya sekalipun tidak akan mampu
melakukannya dalam satu malam karena jarak yang ditempuh kurang lebih
miliaran tahun cahya. Jadi, teori pertama terbantahkan. Lalu apabila
buroq itu melebihi kecepatan cahaya tetap saja sulit diterima logika,
karena tekanan yang akan dirasakan oleh manusia akan menghancurkan
manusianya itu sendiri semakin cepat suatu materi maka tekanannya pun
akan semakin berat.
Contohnya bila kita mengendarai mobil F1
pasti tubuh kita akan merasakan tekanan hebat bahkan bisa menghancurkan
saraf-saraf bila tidak kuat menerimanya. Itu baru kecepatan mobil yang
belum ias dibandingkan dengan kecepatan cahaya, bila kecepatan semacam
itu saja bisa berdampak buruk bagi tubuh apalagi sesuatu yang bergerak
melebihi kecepatan cahaya. Teori kedua pun terbantahkan yang menarik
perhatian ialah teori yang ketiga ini, jika kita tidak bisa pergi ke
tempat tujuan dalam waktu singkat tentunya kita bisa sampai ke tempat
tersebut lewat jalan pintas. Jalan pintas inilah yang bernama worm hole
atau lubang cacing.
Dalam teori relativitasnya, Einstein
menunjukkan bahwa massa bisa membuat ruang dan waktu melengkung atau
melipat, makin besar massa semakin melengkung ruang dan waktu. Akan
tetapi, dibutuhkan energi yang sangat besar untuk dapat menciptakan
massa yang besar yang bisa membuat melengkungnya ruang dan waktu. Namun
teori ini belum dapat dibenarkan adanya, masih membutuhkan
percobaan-percobaan dan piranti pendukung lainnya. Akan tetapi teori ini
bisa saja terjadi mengingat kemustahilan yang terjadi bila perjalanan
bermilyar-milyar kilometer hanya ditempuh dalam waktu semalam.
Masih dalam pembahasan perjalanan Rasûlullâh menuju Sidratul Muntaha,
Rasûlullâh shallallâhu ‘alaihi wa sallam mengemban perintah untuk
melaksanakan shalat fardhu sebanyak 5 kali sehari. Disnilah puncak dari
seluruh perjalanan Rasul, dimana jawaban sekaligus hiburan yang Allâh
Subhânahu wa Ta’âlâ berikan ialah berupa ketaatan menunaikan ibadah
shalat 5 kali sehari. Hal ini sebagai media komunikasi Rasul dan
pengikutnya untuk mendekatkan diri kepada Allâh Subhânahu wa Ta’âlâ.
Inilah jawaban Allâh Subhânahu wa Ta’âlâ atas kesediahan yang dialami
Rasûlullâh shallallâhu ‘alaihi wa sallam. Dengan begitu, kapan pun juga
dapat mendekatkan diri kepada Allâh Subhânahu wa Ta’âlâ dan terhindar
dari perbuatan keji dan mungkar.
Inilah rahasia besar Allâh
Subhânahu wa Ta’âlâ yang ditujukan bukan hanya kepada Muhammad Subhânahu
wa Ta’âlâ saja namun juga pada seluruh umat manusia yang mau beriman
dan bertaqwa dijalan-Nya. Yakni untuk mencapai kondisi “tauhid yang
prima”. Ketauhidan dimana hanya Allâh yang menjadi tempat menyembah,
meiminta dan menyandarkan segala sesuatumya tanpa ada pamrih sediktpun.
Melalui apa? Yaitu melalui Shalat lima waktu yang Allâh Subhânahu wa
Ta’âlâ perintahkan dalam suatu ilustrasi ruhaniyah, yakni isra’ wa
mi’raj. Wallâhu a’lam bi al-shawwâb
Tidak ada komentar:
Posting Komentar