Minggu, 19 Mei 2013

AKU MENANGIS UNTUK ADIKKU

NANGIS BACA INI !!!
AKU MENANGIS UNTUK ADIKKU

Aku dilahirkan di sebuah dusun
pegunungan yang sangat terpencil.
Hari demi hari, orang tuaku membajak
tanah kering kuning, dan punggung
mereka menghadap ke langit. 

Aku mempunyai seorang adik, tiga
tahun lebih muda dariku. Suatu ketika, untuk membeli sebuah sapu tangan
yang mana semua gadis di sekelilingku
kelihatannya membawanya, Aku
mencuri lima puluh sen dari laci ayahku.
Ayah segera menyadarinya. Beliau membuat adikku dan aku
berlutut di depan tembok, dengan
sebuah tongkat bambu di tangannya.
“Siapa yang mencuri uang itu?” Beliau bertanya. Aku terpaku, terlalu takut untuk berbicara.

Ayah tidak mendengar siapa pun mengaku, jadi
Beliau mengatakan, “Baiklah, kalau
begitu, kalian berdua layak dipukul!”
Dia mengangkat tongkat bambu itu
tingi-tinggi. Tiba-tiba, adikku
mencengkeram tangannya dan berkata, “Ayah, aku yang melakukannya!” Tongkat panjang itu menghantam
punggung adikku bertubi-tubi.

Ayah begitu marahnya sehingga ia terus
menerus mencambukinya sampai Beliau kehabisan nafas.

Sesudahnya,
Beliau duduk di atas ranjang batu bata kami dan memarahi, “Kamu sudah belajar mencuri dari rumah sekarang,
hal memalukan apa lagi yang akan
kamu lakukan di masa mendatang?
Kamu layak dipukul sampai mati! Kamu
pencuri tidak tahu malu!” Malam itu, ibu dan aku memeluk adikku dalam pelukan kami.

Tubuhnya
penuh dengan luka, tetapi ia tidak
menitikkan air mata setetes pun. Di
pertengahan malam itu, saya tiba-tiba mulai menangis meraung-raung.

Adikku menutup mulutku dengan
tangan kecilnya dan berkata, “Kak,
jangan menangis lagi sekarang.
Semuanya sudah terjadi.” Aku masih selalu membenci diriku karena tidak memiliki cukup
keberanian untuk maju mengaku.
Bertahun- tahun telah lewat,tapi
insiden tersebut masih kelihatan seperti baru kemarin. Aku tidak pernah akan lupa
tampang adikku ketika ia
melindungiku.

Waktu itu, adikku
berusia 8 tahun. Aku berusia 11.
.
Ketika adikku berada pada tahun
terakhirnya di SMP, ia lulus untuk
masuk ke SMA di pusat kabupaten.
Pada saat yang sama,saya diterima
untuk masuk ke sebuah universitas
propinsi. Malam itu, ayah berjongkok di halaman, menghisap rokok
tembakaunya, bungkus demi bungkus.

Saya mendengarnya memberengut,
“Kedua anak kita memberikan hasil
yang begitu baik…hasil yang begitu baik…” Ibu mengusap air matanya yang mengalir dan menghela nafas,

“Apa gunanya? Bagaimana mungkin kita bisa membiayai keduanya
sekaligus?” Saat itu juga, adikku berjalan keluar ke
hadapan ayah dan berkata, “Ayah,
saya tidak mau melanjutkan sekolah lagi,telah cukup membaca banyak
buku.” Ayah mengayunkan tangannya
dan memukul adikku pada wajahnya.

“Mengapa kau mempunyai jiwa yang begitu keparat lemahnya? Bahkan jika
berarti saya mesti mengemis di jalanan saya akan menyekolahkan kamu berdua sampai selesai!”

Dan begitu
kemudian ia mengetuk setiap rumah di dusun itu untuk meminjam uang. Aku
menjulurkan tanganku selembut yang aku bisa ke muka adikku yang
membengkak, dan berkata, “Seorang
anak laki-laki harus meneruskan
sekolahnya; kalau tidak ia tidak akan pernah meninggalkan jurang
kemiskinan ini.”

Aku, sebaliknya, telah memutuskan untuk tidak lagi
meneruskan ke universitas.
.
Siapa sangka keesokan harinya,
sebelum subuh datang, adikku
meninggalkan rumah dengan
beberapa helai pakaian lusuh dan
sedikit kacang yang sudah mengering.
Dia menyelinap ke samping ranjangku dan meninggalkan secarik kertas di
atas bantalku: “Kak, masuk ke
universitas tidaklah mudah. Saya akan
pergi mencari kerja dan mengirimu
uang.” Aku memegang kertas tersebut
di atas tempat tidurku, dan menangis dengan air mata bercucuran sampai
suaraku hilang. Tahun itu, adikku
berusia 17 tahun. Aku 20.
.
Dengan uang yang ayahku pinjam dari
seluruh dusun, dan uang yang adikku
hasilkan dari mengangkut semen pada
punggungnya di lokasi konstruksi, aku
akhirnya sampai ke tahun ketiga (di
universitas). Suatu hari, aku sedang belajar di kamarku, ketika teman
sekamarku masuk dan
memberitahukan, “Ada seorang
penduduk dusun menunggumu di luar
sana!” Mengapa ada seorang
penduduk dusun mencariku? Aku berjalan keluar, dan melihat adikku
dari jauh, seluruh badannya kotor
tertutup debu semen dan pasir. Aku
menanyakannya, “Mengapa kamu
tidak bilang pada teman sekamarku
kamu adalah adikku?” Dia menjawab, tersenyum, “Lihat bagaimana
penampilanku. Apa yang akan mereka
pikir jika mereka tahu saya adalah
adikmu? Apa mereka tidak akan
menertawakanmu?” Aku merasa
terenyuh, dan air mata memenuhi mataku. Aku menyapu debu-debu dari
adikku semuanya, dan tersekat-sekat
dalam kata-kataku, “Aku tidak perduli
omongan siapa pun! Kamu adalah
adikku apa pun juga! Kamu adalah
adikku bagaimana pun penampilanmu…”

Dari sakunya, ia mengeluarkan sebuah
jepit rambut berbentuk kupu-kupu. Ia
memakaikannya kepadaku, dan terus
menjelaskan, “Saya melihat semua
gadis kota memakainya. Jadi saya pikir
kamu juga harus memiliki satu.” Aku tidak dapat menahan diri lebih lama
lagi. Aku menarik adikku ke dalam
pelukanku dan menangis dan
menangis. Tahun itu, ia berusia 20. Aku
23.

Kali pertama aku membawa pacarku ke
rumah, kaca jendela yang pecah telah
diganti, dan kelihatan bersih di mana-
mana. Setelah pacarku pulang, aku
menari seperti gadis kecil di depan
ibuku. “Bu, ibu tidak perlu menghabiskan begitu banyak waktu
untuk membersihkan rumah kita!”
Tetapi katanya, sambil tersenyum, “Itu
adalah adikmu yang pulang awal
untuk membersihkan rumah ini.
Tidakkah kamu melihat luka pada tangannya? Ia terluka ketika
memasang kaca jendela baru itu..”
.
Aku masuk ke dalam ruangan kecil
adikku. Melihat mukanya yang kurus,
seratus jarum terasa menusukku. Aku
mengoleskan sedikit saleb pada
lukanya dan membalut lukanya.
“Apakah itu sakit?” Aku menanyakannya. “Tidak, tidak sakit.
Kamu tahu, ketika saya bekerja di
lokasi konstruksi, batu-batu
berjatuhan pada kakiku setiap waktu.
Bahkan itu tidak menghentikanku
bekerja dan…” Ditengah kalimat itu ia berhenti. Aku membalikkan tubuhku
memunggunginya, dan air mata
mengalir deras turun ke wajahku.
Tahun itu, adikku 23. Aku berusia 26.
.
Ketika aku menikah, aku tinggal di
kota. Banyak kali suamiku dan aku
mengundang orang tuaku untuk
datang dan tinggal bersama kami,
tetapi mereka tidak pernah mau.
Mereka mengatakan, sekali meninggalkan dusun, mereka tidak
akan tahu harus mengerjakan apa.
Adikku tidak setuju juga, mengatakan,
“Kak, jagalah mertuamu saja. Saya akan
menjaga ibu dan ayah di sini.” Suamiku
menjadi direktur pabriknya. Kami menginginkan adikku mendapatkan
pekerjaan sebagai manajer pada
departemen pemeliharaan. Tetapi
adikku menolak tawaran tersebut. Ia
bersikeras memulai bekerja sebagai
pekerja reparasi.
.
Suatu hari, adikku diatas sebuah
tangga untuk memperbaiki sebuah
kabel, ketika ia mendapat sengatan
listrik, dan masuk rumah sakit. Suamiku
dan aku pergi menjenguknya. Melihat
gips putih pada kakinya, saya menggerutu, “Mengapa kamu menolak
menjadi manajer? Manajer tidak akan
pernah harus melakukan sesuatu yang
berbahaya seperti ini. Lihat kamu
sekarang, luka yang begitu serius.
Mengapa kamu tidak mau mendengar kami sebelumnya?”

Dengan tampang yang serius pada
wajahnya, ia membela keputusannya.
“Pikirkan kakak ipar–ia baru saja jadi
direktur, dan saya hampir tidak
berpendidikan. Jika saya menjadi
manajer seperti itu, berita seperti apa yang akan dikirimkan?”
.
Mata suamiku dipenuhi air mata, dan
kemudian keluar kata-kataku yang
sepatah-sepatah: “Tapi kamu kurang
pendidikan juga karena aku!”
“Mengapa membicarakan masa lalu?”
Adikku menggenggam tanganku. Tahun itu, ia berusia 26 dan aku 29.
.
Adikku kemudian berusia 30 ketika ia
menikahi seorang gadis petani dari
dusun itu. Dalam acara pernikahannya,
pembawa acara perayaan itu bertanya
kepadanya, “Siapa yang paling kamu
hormati dan kasihi?” Tanpa bahkan berpikir ia menjawab, “Kakakku.”
.
Ia melanjutkan dengan menceritakan
kembali sebuah kisah yang bahkan
tidak dapat kuingat. “Ketika saya pergi
sekolah SD, ia berada pada dusun yang
berbeda. Setiap hari kakakku dan saya
berjalan selama dua jam untuk pergi ke sekolah dan pulang ke rumah.
.
Suatu hari, Saya kehilangan satu dari
sarung tanganku. Kakakku
memberikan satu dari kepunyaannya.
Ia hanya memakai satu saja dan
berjalan sejauh itu. Ketika kami tiba di
rumah, tangannya begitu gemetaran karena cuaca yang begitu dingin
sampai ia tidak dapat memegang
sumpitnya. Sejak hari itu, saya
bersumpah, selama saya masih hidup,
saya akan menjaga kakakku dan baik
kepadanya.”

Tepuk tangan membanjiri ruangan itu.

Semua tamu memalingkan
perhatiannya kepadaku.

Kata-kata begitu susah kuucapkan
keluar bibirku, “Dalam hidupku, orang
yang paling aku berterima kasih adalah
adikku.” Dan dalam kesempatan yang
paling berbahagia ini, di depan
kerumunan perayaan ini, air mata bercucuran turun dari wajahku seperti
aliran sungai. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar